Rabu, 21 Maret 2012

DERMATITIS NUMULARIS DAN PENANGANAN

DERMATITIS NUMULARIS

PENDAHULUAN
Dermatitis merupakan peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, yang menimbulkan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal yang cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis numularis sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu kata “nummus” yang berarti “coin”, dan kata dermatitis yang berarti suatu ekzem, kata-kata yang umum untuk menggambarkan suatu peradangan pada kulit.
DEFENISI
            Dermatitis numularis atau yang biasa disebut ekzem numular atau ekzem discoid merupakan suatu peradangan berupa lesi berbentuk mata uang (coin) atau agak lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi atau lesi awal berupa papul disertai vesikel (papulovesikel), biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing) dan biasanya menyerang daerah ekstremitas.

EPIDEMIOLOGI
Dermatitis numularis biasanya terjadi pada orang dewasa, lebih sering pada pria dibandingkan paada wanita. Usia puncak awitan pada kedua jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun; pada wanita usia puncak terjadi juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum satu tahun; umumnya kejadian meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Prevalensi dermatitis numularis di Amerika Serikat adalah 2 dari 1000 orang dan insiden internasional dianggap sama seperti Amerika Serikat. Tidak ada perbedaan ras pada penyakit ini.


ETIOLOGI
Penyebabnya sampai saat ini belum diketahui. Kemungkinan suatu varian dermatitis atopik dibantah, karena kadar IgE masih dalam batas normal. Diduga infeksi ikut berperan pada dermatitis numularis dengan ditemukannya peningkatan koloni Staphylococcus dan Micrococcus di tempat kelainan walaupun secara klinis tidak ditemukan tanda infeksi. Timbulnya dermatitis numularis apakah melalui mekanisme hipersensitifitas terhadap bakteri atau karena infeksi bakteri tersebut, belum diketahui dengan jelas. Eksaserbasi terjadi bila koloni bakteri meningkat di atas 10 juta kuman/cm2.
Dermatitis kontak mungkin ikut memegang peranan pada berbagai kasus dermatitis numularis, misalnya alergi terhadap nikel, krom, kobal, demikian pula iritasi dengan wol dan sabun. Trauma fisis dan kimiawi mungkin juga berperan, terutama bila terjadi di tangan; dapat pula pada bekas cedera lama atau jaringan parut. Pada sejumlah kasus, stres emosional dan minuman yang mengandung alkohol dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi. Lingkungan dengan kelembaban rendah dapat pula memicu kekambuhan.
Dermatitis pada orang dewasa tidak berhubungan dengan gangguan atopi. Pada anak, lesi numularis terjadi pada dermatitis atopik.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi tentang dermatitis numularis ini belum diketahui dengan pasti, tetapi pada kulit penderita dermatitis numularis cenderung kering, hidrasi stratum korneum,rendah. Peneliti mengemukakan hipotesa bahwa pelepasan histamine dan mediator inflamasi lainnya dari sel mast yang kemudian berinteraksi dengan serat-saraf-C yang dapat menimbulkan gatal. Pada penderita dermatitis numularis, substansi P dan kalsitosin serat peptide meningkat pada daerah lesi dibandingkan pada non lesi. Neuropeptida ini dapat menstimulasi pelepasan sitokin lainnya sehingga memicu timbulnya inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa neuropeptide berpotensi pada mekanisme proses degranulasi sel mast.
Peneliti lain telah menunjukkan bahwa adanya sel mast pada dermis dari pasien dermatitis numularis menunjukkan aktivitas enzim chymase, mengakibatkan menurunnya kemampuan menguraikan neuropeptide dan protein. Disregulasi ini dapat menyebabkan menurunnya kemampuan enzim untuk menekan proses inflamasi.
GEJALA KLINIS
Keluhan penderita dermatitis numularis dapat berupa gatal yang kadang sangat hebat, sehingga dapat mengganggu. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel (0,3 - 1,0 cm), kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau meluas ke samping, membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam (coin), eritematosa, sedikit edematosa, dan berbatas tegas. Lambat laun vesikel pecah terjadi eksudasi, kemudian mengering menjadi krusta kekuningan. Ukuran lesi bisa mencapai garis tengah 5 cm atau lebih, jumlah lesi dapat hanya satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral atau simetris dengan ukuran bervariasi dari miliar sampai numular, bahkan plakat. Tempat predileksi biasanya terdapat di tungkai bawah, badan, lengan termasuk punggung tangan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran Histopatologi
Pada lesi akut ditemukan spongiosis, vesikel intraepidermal, sebukan sel radang limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah. Lesi kronis ditemukan akantosis teratur, hipergranulosis dan hiperkeratosis, mungkin juga spongiosis ringan. Dermis bagian atas fibrosis, sebukan limfosit dan makrofag di sekitar pembuluh darah.

DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis numularis didasarkan atas gambaran klinis dengan timbulnya lesi yang berbentuk papulovesikel yang bergabung membentuk satu bulatan seperti mata uang (coin), dan terasa gatal yang timbul pada daerah predileksi. Gambaran histopatologi juga bisa membantu dalam menegakkan diagnosa.

DIAGNOSA BANDING
1.                          Dermatitis kontak
2.                          Dermatitis atopik
3.                          Neurodermatitis sirkumskripta
4.                          Dermatomikosis

PENATALAKSANAAN
Sedapat-dapatnya mencari penyebab atau faktor yang memprovokasi. Bila kulit kering, diberi pelembab atau emolien. Secara topikal lesi dapat diobati dengan obat antiinflamasi, misalnya preparat ter, glukokortikoid, takrolimus, atau pimekrolimus. Bila lesi masih eksudatif, sebaiknya dikompres dahulu misalnya dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000.
Kalau ditemukan infeksi bakterial, diberikan antibiotik secara sistemik. Kortikosteroid sistemik hanya diberikan pada kasus yang berat dan refrakter, dalam jangka pendek. Pruritus dapat diobati dengan antihistamin golongan H1, misalnya hidroksisilin HCl.

PROGNOSIS
Dari suatu pengamatan sejumlah penderita yang diikuti selama berbagai interval sampai dua tahun, didapati bahwa 22% sembuh, 25% pernah sembuh untuk beberapa minggu sampai tahun, 53% tidak pernah bebas dari lesi kecuali masih dalam pengobatan.









Selasa, 20 Maret 2012

peran laparoskopi dalam perbaikan trauma abdomen anak


ABSTRAK
Tujuan: tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi laparoskopi sebagai perbaikan cedera   pada anak-anak yang menderita trauma yang terfokus terhadap abdominal.
Metode: sebuah review retrospektif dilakukan terhadap semua pasien yang berumur 16 tahun dan lebih muda yang membutuhkan operasi untuk cedera trauma usus dengan periode  selama 5 tahun di 2 universitas children`s hospital .populasi penelitian terdiri dari pasien yang memiliki hemodinamik yang stabil pada transfer energi yang terfokus  secara terus menerus pada perut dan didiagnosis sebelum operasi dengan cedera usus. Anak – anak yang mengalami berbagai jenis luka dan luka tembak atau yang tidak termasuk kedalam hemodinamik yang tidak stabil.
Hasil: lima puluh anak dengan hemodinamik stabil yang dieksplorasi untuk preoperasi dengan catatan cedera usus yang  berkelanjutan setelah trauma abdominal . Laparoskopi digunakan untuk memperbaiki cedera gastrointestinal pada 8 anak .Rata-rata pada saat dilakukan operasi, waktu untuk diet, dan waktu pemulihan setelah laparoskopi didapati perbaikan usus lebih baik dibandingkan dengan pasien yang menggunakan laparotomi.Sebagai tambahan 6 pasien yang dibantu dengan laparoskopi  dapat membantu reseksi usus atau memperbaiki pecahnya usus melalui sisi terdekat. Baik  dari  awal (cedera yang tidak diketahui penyebabnya, infeksi luka, pendarahan) atau terlambat diagnosa (obstruksi) yang dapat mengakibatkan komplikasi dapat dilakukan  perbaikan dengan laparoskopi.
Kesimpulan : laparoskopi primer dalam  membantu perbaikan cedera usus adalah pilihan bedah yang tepat untuk anak dengan hemodinamik stabil yang mengalami trauma yang terfokus pada abdominal yang dapat pulih dengan cepat dan rawat inap di rumah sakit menjadi lebih singkat .

Eksplorasi laparoskopi dan perbaikan cedera trauma usus menawarkan banyak keuntungan  konseptual dibandingkan  laparotomi pada trauma sederhana pada pasien. Pembedahan  minimal invasif dilakukan pada  pasien yang mengalami trauma usus di dalam rongga peritoneum untuk mencegah jaringan yang kering dan digunakan untuk meminimalkan cairan dan penurunan suhu yang dapat mengakibatkan ileus dan dapat mempengaruhi program pasca operasi. Secara teoritis , pasien dengan pendekatan laparoskopi untuk perbaikan cedera usus mungkin memiliki sedikit rasa sakit namun fungsi usus dapat kembali lebih cepat ,pasien lebih awal dapat keluar dari rumah sakit sehingga dapat mengurangi biaya perawatan kesehatan total,dan dapat melakukan kegiatan lebih cepat setelah keluar dari rumah sakit. Selain itu, pembedahan  minimal invasif memungkinkan pemulihan lebih cepat setelah eksplorasi. Akhirnya, pemeriksaan isi perut dengan pembesaran selama laparoskopi dapat membantu dalam mendeteksi cedera yang halus.

2.3 Kelompok laparoskopi
 Secara keseluruhan, laparoskopi eksplorasi (preferensi ahli bedah) dilakukan pada 14 (28%) anak yang dioperasi karena cedera trauma usus (Gambar 1C-F). perbaikan primer laparoskopi perforasi gastrointestinal sederhana (kurang dari 50% lingkar usus) dicoba dan selesai pada 6 pasien (4 jejunum, 2 lambung, dan 1 cedera kolon), dan evakuasi hematoma duodenum dilakukan pada pasien tambahan. Laparoskopi eksplorasi dan pengalihan kolon juga dilakukan pada anak yang menderita cedera, yang  menembus perineum dan cedera pada anus atau yang telah mengalami pneumoperitoneum diperiksa dengan tomography scan. Tidak ada usaha untuk memperbaiki usus pada laparoskopi dengan konversi penjahitan intracorporeal yang diperlukan untuk prosedur terbuka.
 6 tambahan pasien yang menjalani laparoskopi eksplorasi ditemukan memiliki perforasi usus yang kompleks yang melibatkan lebih dari 50% dari lingkar usus (n - 4) atau cedera mesenterika dengan degloving serosal dan iskemia usus (n = 2). Untuk yang dibantu Laparoskopi dalam  reseksi usus akan dilakukan pembedahan  setelah ditemukan adanya gangguan hanya pada bagian yang cedera melalui insisi terpendek (<4 cm) pada pasien ini.

2.4.
Kelompok Laparotomi 
Eksplorasi laparotomi (preferensi ahli bedah) dilakukan di 36 sisa (72%) pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Secara keseluruhan, kecenderungan waktu yang lebih singkat pada intraoperatif (1,72 ± 0,13 jam) terlihat pada pasien yang telah eksplorasi terbuka dan mengalami perbaikan dibandingkan dengan laparoskopi (2,21 ± 0,35 jam, P = 0,10) atau yang dibantu oleh  laparoskopi untuk perbaikan (2,48 ± 0,30 jam, P <0,3) pada cedera usus (tabel 2). pasien yang menjalani laparoskopi (2,58 ± 0,30 jam, P <11) atau yang dibantu dengan laparoskopi (3,31 ± 0,41 hari, P <36) menunjukan adanya perbaikan dengan terapi diet makanan cair dibandingkan dengan pasien yang menjalani perbaikan operasi terbuka (4,30 ± 0,47 hari) .Di samping itu, kemajuan untuk terapi diet biasa cenderung lebih cepat pada laparoskopi (3,25 ± 0,83 hari , P <09) dan yang dibantu dengan laparoskopi (4,17 ± 0,59 hari, P <.41)  dibandingkan dengan kelompok operasi  terbuka (5,08 ± 0,45 hari). lebih penting lagi, kembalinya fungsi usus dengan cepat mengakibatkan penyembuhan  lebih cepat pada laparoskopi (4,39 ± 0,88 hari, P <0,6) dan pasien yang dibantu dengan laparoskopi (4,98 ± 0,59 hari, P <.23) dibandingkan pada kelompok terbuka (6,32 ± 0,44 hari)

   2.5. Komplikasi
Pada keseluruhan. 3 (8.3%) pasien memiliki komplikasi akibat pasca operasi setelah eksplorasi terbuka. Yang pertama terjadi obstruksi usus sehingga memerlukan eksplorasi , yang kedua pasien menderita pneumonia pada pasca operasi, dan yang ketiga menderita saluran infeksi setelah pasca operasi. Tidak ada pasien yang dieksplorasi dengan laparoskopi yang dapat  menimbulkan suatu cedera kembali yang tidak diketahui penyebabnya, infeksi luka, pendarahan baik awal atau di akhir dimana diperlukan operasi kembali bila terjadi komplikasi.

3. Diskusi
Dalam studi ini, kami mengevaluasi pembedahan minimal invasif ke managanent anak dengan hemodinamik stabil yang mengalami cedera usus setelah trauma yang terfokus kepada abdomen. Usaha yang dilakukan adalah dengan  membandingkan hasil pada populasi pada anak-anak yang dipilih akibat trauma yang mengalami perbaikan setelah laparoskopi atau perbaikan dengan operasi terbuka yang sebanding pada cedera gastrointestinal dengan
tingkat keparahan yang sama pada cedera yang minimal. Untuk menghindari hasil penelitian yang rancu, 17 anak-anak yang dikerjakan dengan laparotomi sederhana yang memiliki kondisi yang sama pada cedera usus namun dengan hemodinamik yang tidak stabil sebelum operasi dikeluarkan dari penelitian ini atau cedera konstelasi multisistem yang akan menghambat kinerja laparoskopi. Untuk alasan ini, kami mengidentifikasi 50 anak yang menderita cedera usus yang sama dan trauma dengan kekuatan mengenai perut yang sama . Laparoskopi (preferensi ahli bedah) dilakukan di 14 dari 50 pasien dengan hemodinamik stabil pada anak dengan cedera trauma usus. Pada eksplorasi laparoskopi, 8 (57%) pasien ditemukan memiliki perforasi usus  yang berhasil dengan metode laparoskopi saja, dan 6 tambahan (43%) pasien ditemukan memiliki cedera usus yang kompleks yang ditangani secara efektif dan terarah dan sayatan trokar  yang minimal. Studi kami tidak membahas peranan laparoskopi sebagai tambahan diagnostik untuk evaluasi trauma anak.
Beberapa manfaat potensial terapi laparoskopi dalam menangani cedera gastrointestinal direalisasikan dalam review kami tetapi harus diambil dalam konteks dengan rancangan penelitian yang nonrandom. Secara khusus, kecenderungan dapat dilihat  terjadi  kemajuan awal pada diet dan dapat keluar dari rumah sakit lebih cepat .Yang mana dalam teori dapat diterjemahkan bahwa  penggunaan pelayanan kesehatan menjadi berkurang dan rawat inap menjadi lebih singkat dan dapat melakukan aktivitas dengan cepat  untuk kedua anak (sekolah) dan orangtua (kerja). Setelah laparoskopi, pemulihan untuk fungsi gastrointestinal yang lebih awal, sehingga dapat dikeluarkan dari rumah sakit, dan kemungkinan dapat mempulihkan rongga viscera dalam rongga peritoneal. Meskipun laparotomi eksplorasi merupakan pembedahan secara sederhana untuk pengelolaan anak-anak dengan cedera usus akibat trauma abdomen, namun pembedahan dengan celiotomy memiliki kelemahan beberapa potensi bila dibandingkan dengan laparoskopi pada pasien trauma yang  stabil. Laparotomi menghasilkan pelebaran yang lebih besar pada isi perut pada ruang lingkup operasi yang dapat berpotensi menyebabkan  kekeringan jaringan, kehilangan suhu tubuh inti, dan pemaparan organisme yang menular. Selanjutnya, pengerjaan secara manual pada eksplorasi terbuka untuk seluruh saluran pencernaan, dan manipulasi extracorporeal dari usus dapat memicu meningkatnya pergeseran cairan dan hipotermia dan dengan demikian mempotensiasi terjadinya koagulopati dibandingkan bila dilakukan dengan teknik invasif minimal pada trauma anak , dapat .Secara teoritis dikarenakan cairan kurang dan terjadi pergeseran suhu selama prosedur terbuka selain itu dapat menyebabkan risiko untuk ileus paralitik pada pascaoperasi, karena itu, mungkin dapat berkurang setelah laparoskopi, seperti yang ditunjukkan dalam satu meta-analisis (3). Yang tidak diperiksa dalam penelitian kami adalah risiko tambahan dari ileus yang berhubungan dengan nyeri yang meningkat setelah laparotomi, khususnya, penggunaan opioid yang lebih besar dan kembalinya tertunda kegiatan pada periode pasca operasi awal (4)
Untuk mengambil keuntungan dari  manfaat potensi operasi minimal invasif, penelitian kami menyoroti alternatif dengan yang dibantu laparoskopi pada pendekatan suatu kasus pada perbaikan intracorporeal utama untuk perforasi usus kecil atau cedera mesenterika dianggap terlalu luas untuk diselesaikan secara tepat waktu dengan laparoskopi saja . Dalam skenario ini, ketika waktu memiliki potensi yang berharga, kami telah mengarahkan dan
memperpanjang sisi trocar  ekstensi yang diarahkan dan minim dalam melakukan reseksi usus atau untuk mendapatkan kontrol vaskular. Ukuran minilaparotomi ini hanya cukup untuk mengeluarkan isi perut yang hanya pada loop dari cedera usus. Lebih penting lagi, untuk setiap pasien baik yang dikelola oleh teknik minimal invasif, tidak akan menimbulkan cedera kembali, infeksi ataupun  pendarahan atau membutuhkan operasi kembali bila terjadi komplikasi. Ada (8,3%) pasien yang menjalani operasi terbuka akibat cedera  mengalami komplikasi pada pasca operasi. Namun  kecenderungan peningkatan intraoperatif waktu terlihat pada pasien kami yang kami lakukan dengan laparoskopi , terutama mereka yang memiliki prosedur yang dibantu dengan laparoskopi  yang penerapannya untuk cedera usus pada anak. Keterbatasan penting lainnya laparoskopi dipergunakan untuk pasien trauma dengan potensi kompromi hemodinamik yang berhubungan dengan pneumoperitoneum dan risiko yang  memperburuk ketidakseimbangan asam-basa dengan insufflations karbon dioksida.
Diagnosis dan manajemen dari cedera usus setelah trauma tumpul yang terfokus pada abdomen menyajikan tantangan besar untuk dokter bedah. Meskipun rongga visera sering cedera setelah trauma tembus, kurang dari 10% pasien memiliki cedera enterik setelah mekanisme tumpul (1,5). Kurangnya temuan klinis definitif atau laboratorium spesifik dan sensitif dan studi radiografi pada banyak pasien membuat diagnosis dini dari cedera ini sering sulit. Selanjutnya, pasien anak-anak mungkin memiliki presentasi tertunda ke rumah sakit setelah trauma abdomen. Cedera yang halus pada anak seringkali tidak disaksikan oleh orang dewasa, seperti jatuh ke stang sepeda atau dilaporkan penyalahgunaan menggigil, dan dapat
mengakibatkan penundaan yang signifikan dalam diagnosis dan manajemen. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa laparoskopi memang merupakan alat diagnostik yang sensitif dalam mengevaluasi pasien trauma. Fabian dkk (6) Ulasan pengalaman mereka pada pasien yang menjalani laparoskopi 182 diagnostik  mengkonfirmasikan adanya trauma tembus abdomen yang menyebabkan kerusakan pada peritoneal. Dalam studi mereka, eksplorasi laparotomi dilakukan pada semua pasien yang memiliki dokumentasi terhadap cedera pada peritoneum tersebut. Secara keseluruhan, 55% pasien tidak memerlukan laparotomi. Dari pasien yang tersisa yang menjalani laparotomi, 67% pasien dengan cedera pada peritoneal diperlukan intervensi terapeutik (6). Dalam studi kedua, McQuay dan Britt (7) menunjukkan keamanan dan kemanjuran yang dibantu oleh laparoskopi  dalam evaluasi penetrasi trauma thoracoabdominal. Dalam kajian mereka, 72% pasien memiliki hasil yang negatif pada pemeriksaan laparoscopi  dan selamat dari celiotomy, sedangkan 77% dari pasien yang menjalani wajib celiotomy dan mengalami perbaikan pada cedera. Selain menunjukkan tingkat sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi cedera yang halus, keuntungan potensial lainnya ada untuk pendekatan invasif minimal termasuk pemulihan lebih cepat setelah menemukan eksplorasi negatif. Penelitian sebelumnya telah jelas menunjukkan bahwa laparotomi tidak perlu secara signifikan meningkatkan waktu yang lama untuk pasien trauma (8). Review kami, bagaimanapun, tidak secara khusus mengatasi sensitivitas laparoskopi sebagai "alat diagnostik" untuk cedera gastrointestinal pada anak-anak yang mengalami trauma yang terfokus pada abdomen, namun yang penting, tidak ada korban yang mengalami cedera kembali akibat operasi dengan menggunakan teknik ini.
Meskipun penelitian lain telah menunjukkan kemanjuran laparoskopi sebagai alat diagnostik, sedikit yang memfokuskan fungsinya sebagai  peran perbaikan untuk cedera pada usus. Dalam review retrospektif besar dari Brasil, 510 pasien dewasa dengan hemodinamik yang stabil adalah mengevaluasi laparoskopi setelah menembus trauma abdomen. Secara keseluruhan, laparotomi itu dihindari pada 54% pasien yang menjalani laparoskopi dengan hasil negatif. Selain itu, 26 pasien yang memiliki prosedur terapi sukses dengan laparoskopi (perbaikan diafragma 16, 3 perbaikan lambung). Dalam studi ini, bagaimanapun, tidak ada usaha untuk memperbaiki cedera pada usus kecil atau usus besar laparoskopi (2). Sebuah studi retrospektif kedua dari Prancis mengevaluasi peran laparoskopi dalam perforasi tumpul dari usus kecil. Dalam review ini, eksplorasi bedah 195 dilakukan, termasuk 42 laparoscopi
untuk abdomen dengan trauma tumpul. Lima belas pasien ini didiagnosis dengan cedera usus kecil dan 5 dari 15 berhasil diperbaiki laparoskopi. Dalam studi mereka, konversi ke prosedur terbuka selalu mungkin, dan tidak ada pasien dengan morbiditas berhubungan langsung untuk memperbaiki perforasi usus mereka.
Selain studi ini mengevaluasi perbaikan laparoskopi cedera trauma usus, data terakhir menunjukkan bahwa laparoskopi mungkin bermanfaat dalam evaluasi dan pengelolaan cedera rectal yang kompleks, seperti yang diwujudkan dalam penelitian kami. Meskipun praktek saat ini di sebagian besar pusat melibatkan laparotomi untuk pengalihan aliran tinja, laparoskopi mungkin merupakan teknik yang efektif untuk menjelajahi integritas refleksi peritoneal dan rektum intraperitoneal dan untuk membangun lingkaran kolostomi pengalihan (9). Selain beberapa studi yang tersedia mengevaluasi kemanjuran terapi laparoskopi pada pasien trauma, laparoskopi telah terbukti efektif dalam pengelolaan cedera iatrogenik usus
berkelanjutan selama laparoskopi kolesistektomi elektif (10) dalam serangkaian besar lebih lanjut dari pasien yang menjalani laparoskopi lambung bypass, manajemen laparoskopi kebocoran anastomosis pascaoperasi berhasil dalam 5 dari 7 pasien (11). Lebih penting lagi, tidak ada studi sebelumnya yang telah mengevaluasi peran laparoskopi dalam perbaikan cedera usus pada anak yang trauma.
Laparoskopi eksplorasi dan  perbaikan primer yang lain atau perbaikan pembantu  jika usus terluka pada pasien hemodinamik stabil yang mengalami trauma abdomen yang terfokus  adalah pilihan bedah yang tepat dan mungkin dapat mengembalikan fungsi usus lebih cepat waktu di rumah sakit lebih pendek. Sebuah analisis prospektif eksplorasi laparoskopi untuk pasien stabil dengan cedera usus dicurigai dibenarkan